Minggu, 05 Januari 2014

Dear Diary part 6




Tuesday, February 29th 2014
Dear Diary

            Entah lah apa aku bisa terus membohongi diriku sendiri seperti ini, karena aku rasa aku tidak sanggup lagi. Tatapan-tatapan yang selalu Justin arahkan padaku semakin menusuku, aku bisa melihat api kebencian dari sorot matanya. Justin selalu menatapku dingin dan menusuk, membuat seluruh bulu romaku merinding, membuat hatiku mendesis. Ini menyakitkan. Di tambah lagi hubungannya bersama ka Ruby yang semakin mesrah saja. Awalnya aku sedikit merasa tenang karena ka Steven—maksudku Steven mengatakan kalau Ka Ruby belum memiliki kekasih yang menandakan Justin bukanlah kekasih ka Ruby, tetapi makin hari hubungan mereka semakin dekat bahkan Steven mengatakan kalau mereka dalam waktu dekat akan menjadi sepasang kekasih. Ah! Itu menyakitkan. Aku tau kalau aku sudah memiliki Steven tetapi jujur sampai saat ini aku belum bisa mencintainya dengan tulus, hatiku tetap milik Justin. Milik seseorang yang bahkan tidak akan pernah bisa ku miliki. Aku sudah mencoba untuk membuang semua perasaan ini, mencoba mencintai Steven, tapi hasilnya nihil. Kustru sekarang aku merasa resah dan gelisah karena harus terus membohongi diriku sendiri. Cinta tidak bisa di paksakan, aku tau itu. Tapi aku tidak tau harus berbuat apa lagi? Aku sangat resah saat Steven mengatakan cinta padaku sedangkan aku tidak bisa membalasnya. Tidak, aku tidak bisa terus membohonginya dengan berpura-pura mencintainya. Aku harus jujur padanya, tapi aku terlalu takut menyakitinya. Dia adalah laki-laki yang berharga untukku, tentunya setelah Dad dan—Justin. Aku tau kalau aku membohonginya terus menerus malah akan semakin membuatnya terluka. Aku bingung. Aku takut menyakiti orang lainin tapi aku Justru membuat diriku sendiri menderita. Ya tidak apa, biar aku saja yang menanggung semua ini sendirian. Ini Sudah Jalan takdirku, ya jalan takdirku yang harus melihat lain menjadi kekasih orang lain. Ya, tepat pada jam Istirahat di depan seluruh murid di kantin dia menyatakan perasaannya dan meminta ka Ruby menjadi kekasihnya. Dan rasa sakit itu kembali datang, membuat lubang hatiku semakin dalam, mungkin hingga tak dapat tertutup lagi. Rasa ini terus menyakitiku, menggerogoti hatiku dan membuatnya semakin rappuh, hancur. Ibarat kertas yang telah terbakar, rapuh. Mungkin lebih tepat lagi jika hati ku seperti abu yang berterbanga bebas. Menyedihkan..

***

            Aku tengah bersama Ka Steven—maksudku Steven di Kantin, seperti biasanya kami menghabiskan waktu Istirahat di kantin. Suasana kantin begitu ramai, berbeda sekali dengan hatiku dan pikiranku yang sedang kosong ini. Aku terdiam sambil mengaduk-aduk makanan ku sedangkan Steven yang berada di sebelahku terlihat asyik berbicara sendiri, maksudku dia berbicara padaku tapi bahkan aku tidak mendengarkan sama sekali yang dia bicarakan. Pikiranku sedang tertuju pada satu nama, Justin. Aku tau aku bodoh. Aku sudah mempunyai seorang lelaki tampan yang mencintai ku dengan tulus sedangkan aku justru mencintai orang lain yang bahkan tidak mencintaiku. Ya seorang Justin Bieber tidak mencintai ku. Aku memang tidak pernah menyatakan perasaan ku padanya karena bahkan sebelum aku mengatakannya aku sudah menemukan jawabannya. Justin benci padaku, dia jijik padaku. Aku hanya seorang gadis jelek yang besar kepala karena merasa pernah menjadi teman masa kecilnya. Ah! Bahkan mungkin hanya aku saja yang menganggapnya sebagai teman masa kecil. Dia—Justin, Bahkan mungkin tidak pernah menganggapku begitu. Aku sangat tau dia membenciku, terlihat jelas dari tatapannya yang tajam, dingin dan begitu mengintimidasi. Aku bisa melihat api kembencian tersirat dari mata coklat madunya. Mata Coklat madu yang dulu teduh dan menenangkan, telah hilang dari sekelilingku. Senyum dan tawanya, aku merindukannya, aku merinduka semua yang ada pada dirinya—dulu.
            Lamunanku terhenti saat aku melihat Justin dan ka Ruby beserta Teman-teman Justin dan—sepertinya teman-teman Ka Ruby memasuki Kantin. Aku hanya bisa menatap Justin dan Ka Ruby dengan nanar. Rasa sakit itu kembali muncul. Seperti memiliki alaram saat melihat Justin berasama Ka Ruby. Ya, aku cemburu pada Ka Ruby, sangat Cemburu. Tapi aku hanya bisa terdiam meratapi nasibku. Aku tau mungkin aku memang gadis yang tidak pernah bersyukur dengan apa yang telah aku dapat. Aku telah memiliki Steven yang tidak kalah tampan dari Justin. Steven baik, perhatian dan nilai tambahnya adalah dia mencintaiku dengan tulus, bagaimana pun penampilanku. Seperti saat ini aku tetap berpenampilan seperti biasa, seperti gadis kampung. Tapi aku tidak mencintainya. Hanya itu yang kurang. Aku mencintai Justin meski aku tau aku tidak akan pernah bisa mendapatkannya. Aku mencintainya meski aku atau kalau aku akan terluka. Cinta telah membutakanku, membuatku tidak bisa melihat laki-laki lain selain Justin. Bahkan di keramaian kantin ini mataku tetap tertuju padanya, pada Justin yang sekarang bahkan sedang tertawa bahagia bersama Ka Ruby dan teman-temannya tanpa tau betapa sakitnya aku menatapnya. Aku kembali melamun, tapi tetap Justin yang ada di fikiranku. Lelaki itu benar-benar seperti hantu yang terus menghantui fikiranku.

            “Perhatian semua yang ada di kantini ini!”, teriak seseorang yang suaranya sangat kukenal menghentikan lamunanku dan langsung menatap kearahnya. Damn! Mata kami bertemu sesaat dan aku mendapatkan tatapan itu lagi. Tatapan dingin dan menusuk yang penuh dengan api kebencian dari seorang Justin Bieber.

            “Aku ingin kalian menjadi saksiku!”, teriaknya lagi dengan berdiri di atas meja kantin membuat semua murid di kantin dapat menatapnya. Apa yang dia lakukan?
            Lagi-lagi dia menatap kearahku masih dengan tatapannya yang—kau tau lah. Mengintimidasi. Aku hanya bisa menundukan kepalaku demi menghindari tatapan itu. Aku tidak mau menangis di sini hanya kerena terus menatap Justin yang menatapku dengan tatapan dinginnya. Tidak di depan murid-murid ini.

            “Ruby Alison Mcconnell, aku mencintaimu. Do you want to be mine?”, tanya Justin dengan suara yang lantang membuat beberapa murid kaget karena pernyataannya tersebut. Dan setelah itu kantin menjadi hening, menanti jawaban dari sang wanita.
            Aku hanya bisa terdiam menganga mendengar semua itu. Hatiku—Sakit. Sangat Sakit. Rasanya seperti ribuan panah menancap tepat di ulu hatiku. Membuat nafasku sesak.

            “Yes, I want Justin”, Jawab ka Ruby dengan pipi yang memerah. Seketika kantin menjadi ricuh, penuh dengan sorakan-sorakan dan kata-kata selamat dari para murid. Beberapa gadis-gadis terdengar cemburu dan kesal tetapi tentu saja mereka tidak bisa mengalahkan seoarang Ruby Alison Mcconnell yang cantik dan populer. Tidak ada yang bisa, apa lagi aku.
            Steven terlihat menghampiri Ka Ruby dan memberikan selamat padanya. Sedangkan aku—Aku hanya bisa terdiam di tempatku, memejamkan mataku menahan air mata yang telah membendung di pelupuk mataku. Tidak aku tidak boleh menangis, tidak di sini, tidak sekarang, tidak di depan murid-murid ini. Tapi ini terlalu menyakitkan, rasanya seperti di neraka!

***

Wednesday, March 1st 2014
Dear Diary

            Hari ini hari ulangtahunnya (Justin) yang ke 16. Ya, dia mengadakan pesta di rumahnya, dan tentu saja aku di undang. Tidak! Pasti bukan Justin yang mengundangku, tepatnya Mom Pattie yang mengundangku. Aku tau itu karena Justin membenciku. Dan aku sangat yakin kalau Justin mengundang Ka Ruby. Tentu saja, Ka Ruby adalah kekasihnya sekarang. Mereka resmi berpacaran kemarin, di kantin, tepat di depan muri-murid. Dan—aku menangis semalaman. Aku memang berhasil menahan air mataku untuk tidak mengalir saat aku berada di sekolah, dan aku berfikir air mata itu juga tidak akan mengalir lagi. Tapi aku salah. Bahkan sampai hari ini, malam ini, air mataku masih tetap mengalir. Mereka bermesraan di pesta, tepat di depan mataku. Itu memang tidak salah karena aku bukan siapa-siapa Justin, dan pesat itu adalah miliknya. Aku hanya bisa mencoba menjauh dari mereka, Pergi bersama Steven. Tentu saja aku pergi bersama Steven, dia di undang oleh Justin. Pestanya sangat meriah tapi—tidak untukku. Aku tidak bisa merasakan perasaan lain selain—Sakit! Aku terus melamun sepanjang pesta membuat Steven beberapa kali bertanya tentang keadaanku. Apa yang bisa aku lakukan? Apa lagi setelah aku melihat mereka—berciuman beberapakali di depan mataku. Aku pergi, bukan pulang karena aku yakin Mom dan Dad akan bertanya kenapa aku pulang lebih awal. Aku pergi menuju pohon itu. Pohon yang penuh kenangan ku—bersama Justin. Beruntung tempat itu sepi, aku bisa menangis di sana, sepuas yang aku mau. Tapi kenangan di sana Justru membuat hatiku semakin sakit. Aku menangis sendirian di sana, hingga Steven muncul dan duduk di sebelahku. Dia hanya terdiam, tidak bertanya apa pun padaku. Aku rasa aku benar-benar tidak bisa lagi membohongi perasaanku. Aku memutuskan untuk mengatakan padanya, mengatakan kalau aku tidak mencintainya, dan aku mencintai—Justin. Ya, dia baikhati karena dia menerima semua itu, dia Justru meminta maaf padaku karena merasa dia egois. Tidak! aku yang bodoh karena tidak bisa mencintainya. Aku putus dengannya, dan aku Justru menangis dan mencurahkan semua rasa sakitku pada Justin kepadanya. Dia memelukku dengan lembut, mencoba menenangkanku. Dan itu Justru membuatku merasa semakin Bodoh! Sial, Sial, Sial! Kenapa aku tidak bisa hanya mencintainya?! Kenapa aku harus mencintai Justin yang begitu menyakitkan. Sial! Rasanya aku ingin menghilang saja..

***

            1 Maret. Aku tidak bisa melupakan hari apa ini. Hari ini adalah Hari ulangtahun Justin, Ulang tahunnya yang ke 16. Aku di Undang ke pesta ulang tahunnya malam ini, tapi aku yakin dan sangat yakin bukan Justin yang mengundangku melainkan Mom Pattie. Steven Juga di undang ke pestanya, dan aku bersyukur dengan hal itu karena aku tidak perlu susah-susah lagi mencari pasangan untuk pergi ke sana. Aku tau di sana ada Mom Pattie, Dad Jeremy, Jaxon dan bahkan Jazmyn. Tapi aku butuh teman di sana, seseoreang yang sebaya denganku yah meskipun Steven tidak sebaya denganku, dia lebih tua satu tahun dariku. Tapi dia sama-sama anak Whitefield Academy seperti ku, dan dia kekasihku, meskipun aku tidak mencintainya. Ya aku tidak mencintai Steven, tapi ku harap aku bisa. Dan untuk masalah pesta itu—aku akan datang. Aku tau aku akan sakit di sana, karena—yah kalian tau, Ka Ruby akan datang tentunya. Tentu saja, dia kekasih Justin semenjak kemarin. Ah! Bahkan hatiku kembali mendesis saat mengingat kejadian kemarin. Aku menangis, menangis semalaman. Aku sudah mencoba untuk tidak menagis di sekolah dan aku berhasil. Aku fikir air mataku tidak akan mengalir lagi, tapi aku salah. Begitu tiba di kamarku dan aku menatap kepada kalungku yang berliontin ‘J.J’ dari pantulan kaca, air mataku kembali mengalir. Bahkan sampai saat ini aku masih menangis.

            Aku mengambil Dress ku yang berwarna putih dari dalam lemariku dan mengenakannya. Aku telah siap sekarang. Aku tidak mengepang rambutku malam ini, aku membiarkannya tergerai agar cocok dengan dress yang ku gunakan. Lagi pula aku akan bertemu dengan Mom Pattie dan dia tidak pernah melihat gayaku di sekolah. Mom Pattie telah mengenalku lama dan aku tidak mau mengecewawaknnya hanya karena aku mengepang rambutku. Dia suka rambut panjangku yang tergerai. Dia bilang aku cantik. Tidak! Aku tidak cantik. Aku tau dia mengatakan itu karena dia sudah menganggapku seperti anak sendiri, dan tidak ada orang tua yang akan mengatakan kalau anaknya jelek.
           
            Aku melangkah meninggalkan rumahku bersama Steven. Kami berjalan kaki menuju rumah kaki karena memang rumah Justin hanya beberapa rumah dari rumahku, bahkan bisa di bilang berada di depan rumahku meski sedikit agak kekanan. Suara musik langsung membelai telingaku begitu aku memasuki rumah ini. Sudah ramai di sini karena acar sudah di mulai sejak setengah jam yang lalu. Begitu sampai di rumah ini hal pertama yang kulakukan adalah menghampiri Mom Pattie yang terlihat sibuk menyambut tamu dengan Dad Jeremy yang sedang mengawasi Jaxon dan Jazmyn yang berlarian mengelilingi ruangan.

            “Hi Mom, maaf aku terlambat”, sapaku pada Mom Pattie yang langsung di balas dengan pelukan.
            “Woah, siapa laki-laki tampan yang bersamamu ini?”, goda Mom Pattie sambil mengedipkan matanya padaku membuatku terkekeh.
            “Mom ini Steven, kekasihku. Dan Steven ini Mom Pattie, Emm—Mom Justin”
            “-dan mom Jessy. Aku sudah menganggap Jessy seperti anak ku sendiri. Kau beruntung karena bisa mendapatkan gadis ku yang cantik ini”, lanjut mom Patti dam aku hanya mengangguk membenarkan omongan Mom Pattie. Ah, tapi bukan omongannya yang terakhir.
            Lalu aku menghampiri Dad Jeremy dan memeluknya. Menyadari keberadaanku Jaxon dan Jazmyn langsung memeluk kaki ku membuatku berjongkok agar sejajar dengan mereka.

            “Hi Doble J”, sapa ku pada mereka berdua.
            “Hi Jessy. kenapa kamu baru datang sekarang? Kami menunggu mu sejak tadi”, ucap Jazmyn dengan suara khas anak kecilnya yang sangat lucu.
            “Oh maaf. Aku harus membungkus kado untuk Justin terlebih dahulu. Jadi kalian sudah menungguku sejak tadi?”, aku agak berbohong tentang membungkus kado.
            “Ya, aku tidak mengenal siapa pun disini kecuali—Ka Ruby”, lanjut Jazmyn
            “Ka Ruby?”, tanyaku mengangkat sebelah alisku. Ah! Ya aku ingat, Ka Ruby pernah bermain kemari beberapa kali saat liburan musim dingin.
            “Iya. Tapi sekarang ka Ruby sedang asyik berdua bersama Justin”
            “Kau sudah bertemu dengan Justin?”, tanya Jaxon kemudian.
            “Belum. Apa kalian mau mengantarku menemuinya untuk memberikan kado ini?”, tanyaku pada dua anak manis ini sambil menunjukan kado yang ku bawa di tanganku.
            “Tentu saja!”, teriak mereka girang dan langsung menarik tanganku cepat. Aku pun melirik Steven dan menatapnya dengan tatapan ‘Ikuti aku’ dan tidak lama kemudian aku telah sampai di hadapan Justin—dan Ruby.

            “Hi Stev, Hi Jessica”, sapa Ka Ruby pertama kali.
            “Hi”, balasku dan Steven berbarengan.
            “Hi Justin, Happy Birthday dude. Sorry i can’t give you present”, ucap Steven pada Justin sambil berjabat tangan. Tapi Justin hanya bersikap datar.
            “Emm—Happy Birthday Justin. This is for you”, aku memberikan hadiah yang ku bawa pada Justin. Sebuah topi. Justin menyukai topi sejak kecil.
            Justin tetap memasang tampang datarnya, menerima hadiahku dan langsung meletakkannya di meja yang juga sudah terisi dengan tumpukkan hadiah lainnya.  Melihat sikapnya membuatku hanya bisa menggigit bibir bawahku. Kemudian aku pergi meninggalkannya dengan alasan mengatar Jaxon dan Jazmyn kembali kepada Dad Jeremy. Yah tapi aku memang mengantarkan dua anak itu kepada Dad Jeremy.

           
            Aku hanya terdiam duduk di sebuah bangku yahng ada di pinggiran ruangan, menatap Dua insan yang tengah bernahagia itu dengan tapan nanar. Sudah sedari tadi aku hanya terduduk kursi ini setelah kami melewati beberapa rancangan acara pesta ini. Aku duduk di sini dengan alasan kelelahan. Tidak, aku tidak lelah sebenarnya. Mungkin juga lelah, lelah melihat kemesraan dua orang itu. Mereka tidak malu mengumbarnya di keramaina orang ini. Beberapa kali aku melihat Justin mencium jidat, pipi dan leher Ka Ruby, menggodanya dengan kata rayuan yang manis. Aku bisa mendengar dan melihatnya dengan jelas dari sini dan sekarang hatiku terasa sangat perih. Baru saja aku berhenti menangis tadi sore dan sekarang Justin sudah mau membuatku menangis lagi. Kenapa dia terlihat senang sekali mebuatku menderita. ah! Tapi dia tidak tau kalau aku menderita, bahkan dia tidak perduli.
            Baru saja aku meneguk sirupku saat tiba-tiba mataku langsug tertuju pada Justin dan Ka Ruby yang tengah berciuman. Aku menyembur sirupku, membuat dress putihku terkena noda merah dari sirup tersebut. Sialan! Aku tidak perduli dengan dress putih sialan ini. Aku terus mengumpat dengan kata-kata kotor dalam hati sedangkan Steven sedang membersihkan Dress putihku ini dengan sapu tangannya, membuat dressku yg basah menjadi agak kering. Aku berterimakasih padanya yang terlampau baik, tapi apa balasan ku? Membohonginya dengan tidak jujur dengan perasaanku? Bodoh! Aku menarik nafasku dalam-dalam agar aku tidak menangis. Tidak lagi, jangan sampai aku menangis di sini. Tapi—Tidak! Kali ini aku gagal menahan air mata ini saat melihat Mereka—berciuman kembali. Aku berlari dari ruangan itu sambil berharap tidak ada yang melihat air mata ini. Aku pergi menuju halaman belakang yang sepi, terduduk di bawah pohon yang penuh dengan kenanganku dan nya. Aku memangis sekarang, air mataku jatuh tak tertahankan lagi. Sakit! Sakit Tuhan! Ini sangat menyakitkan! Air mataku terus turun dengan deras membasahi kedua pipiku. Aku terus menangis sampai dadaku terasa sesak. Cinta ini membunuh ku dengan perlahan.
            Ku dengar langkah kaki mendekatiku dan sesaat kemudian seseorang terduduk di sebelahku. Steven! Dia hanya terdiam tak bersuara, tidak bertanya apa pun padaku. Aku masih menangis sesegukan membuat Steven yang terduduk di sebelahku langsung menarikku kedalam dekapannya. Aku harus mengatakannya! Aku tidak bisa terus membohonginya. Itu yang terlintas di fikiranku sekarang.

            “Hiks.. Stev”, ucapku yang mencoba berbicara di sekalah tangisanku.
            “Syuuutt.. tenang. Ada apa?”, tanyanya lembut sembari menenangkan ku.
            “Ma—maafkan aku—Hiks. A-aku sudah membohongimu, hiks. Maafkan aku”
            “Sudahlah, tidak ada yang perlu ku maafkan. Kamu tidak salah apa-apa.”, jawabnya dengan lembut sambil mengelus punggungku.
            “Ti—tidak, aku bersalah. Aku tidak jujur dengan perasaanku, hiks. Maafkan aku, Tapi aku hanya menganggapmu sebagai temanku dan kakaku saja, a—aku tidak punya perasaan lebih padamu, tapi aku mencintai—Justin. hiks”, dia terdiam begitu lama setelah mendengar pengakuanku membuatku takut kalau dia akan membenciku. Air mataku mengalir semakin deras.

            Aku mendengar Steven membuang nafas panjang, “Tidak, aku yang seharusnya minta maaf padamu. Aku—sebenarnya sudah tau itu. Aku menyukai mu—meski aku tau kamu menyukai Justin. Aku egois dan jahat karena telah mencari kesempatan dalam kesempitan. Aku tau semua perasaan mu itu padanya, aku tau kalau kamu mempunyai kalung darinya yang selalu kamu kenakan di lehermu itu meski tersembuyi. Aku tau kalau kamu selalu mencoba untu tidak menangis di depanku, mencoba menahan perasaan mu. aku tau itu meski aku tidak tau tentang masa lalumu dengannya. Maafkan aku”
“Tidak, kamu tidak perlu meminta maaf padaku. Hiks. Aku yang salah karena tidak bisa mencintaimu. Aku benar-benar gadis yang bodoh!”
            “Tidak, kamu tidak bodoh. Aku tau kalau cinta tidak bisa di paksakan. Kamu mencintai Justin dan seharusnya aku tau itu. Aku tau Seharusnya hubungan ini tidak pernah terjadi. Jadih lebih baik kita akhiri saja hubungan ini”
            “Maaf”, ucapku dengan suara parau dan steven membalasnya dengan sebuah senyuman yang sangat manis. Sial! Dia benar-benar laki-laki yang baik dan aku benar-benar bodoh karena telah menyia-nyiakannya.

            “Bagaimana perasaanmu sekarang?”, tanya Steven lembut mebuatku teringat akan kejadian Ciuman Sialan itu lagi. Damn! Air mataku kembali mengalir.


            “Dia Sudah bersama Ka Ruby. Aku tidak bisa apa-apa. Aku kalah. Hiks. Sakit. Sakit sekali saat melihat mereka berdua bermesraan. Sakit sekali seperti di neraka! Rasanya ingin menghilang saja! Hiks. Aku ingin menghilang saja!”, aku menangis di dalam pelukan Ka Steven sambil mencurahkan semua rasa sakit di dalam hatiku padanya dan Ka Steven hanya terdiam tersu mendengarkan sambil tetap mengelus punggungku untuk menenangkan ku. Benar-benar malam yang menyakitkan!



Jessy

Justin With Ruby in his Birthday


Tidak ada komentar:

Posting Komentar