Tuesday, February 29th 2014
Dear Diary
Entah lah apa aku bisa
terus membohongi diriku sendiri seperti ini, karena aku rasa aku tidak sanggup
lagi. Tatapan-tatapan yang selalu Justin arahkan padaku semakin menusuku, aku
bisa melihat api kebencian dari sorot matanya. Justin selalu menatapku dingin
dan menusuk, membuat seluruh bulu romaku merinding, membuat hatiku mendesis.
Ini menyakitkan. Di tambah lagi hubungannya bersama ka Ruby yang semakin mesrah
saja. Awalnya aku sedikit merasa tenang karena ka Steven—maksudku Steven
mengatakan kalau Ka Ruby belum memiliki kekasih yang menandakan Justin bukanlah
kekasih ka Ruby, tetapi makin hari hubungan mereka semakin dekat bahkan Steven
mengatakan kalau mereka dalam waktu dekat akan menjadi sepasang kekasih. Ah! Itu
menyakitkan. Aku tau kalau aku sudah memiliki Steven tetapi jujur sampai saat
ini aku belum bisa mencintainya dengan tulus, hatiku tetap milik Justin. Milik
seseorang yang bahkan tidak akan pernah bisa ku miliki. Aku sudah mencoba untuk
membuang semua perasaan ini, mencoba mencintai Steven, tapi hasilnya nihil.
Kustru sekarang aku merasa resah dan gelisah karena harus terus membohongi
diriku sendiri. Cinta tidak bisa di paksakan, aku tau itu. Tapi aku tidak tau
harus berbuat apa lagi? Aku sangat resah saat Steven mengatakan cinta padaku
sedangkan aku tidak bisa membalasnya. Tidak, aku tidak bisa terus membohonginya
dengan berpura-pura mencintainya. Aku harus jujur padanya, tapi aku terlalu
takut menyakitinya. Dia adalah laki-laki yang berharga untukku, tentunya
setelah Dad dan—Justin. Aku tau kalau aku membohonginya terus menerus malah
akan semakin membuatnya terluka. Aku bingung. Aku takut menyakiti orang lainin
tapi aku Justru membuat diriku sendiri menderita. Ya tidak apa, biar aku saja
yang menanggung semua ini sendirian. Ini Sudah Jalan takdirku, ya jalan
takdirku yang harus melihat lain menjadi kekasih orang lain. Ya, tepat pada jam
Istirahat di depan seluruh murid di kantin dia menyatakan perasaannya dan
meminta ka Ruby menjadi kekasihnya. Dan rasa sakit itu kembali datang, membuat
lubang hatiku semakin dalam, mungkin hingga tak dapat tertutup lagi. Rasa ini
terus menyakitiku, menggerogoti hatiku dan membuatnya semakin rappuh, hancur.
Ibarat kertas yang telah terbakar, rapuh. Mungkin lebih tepat lagi jika hati ku
seperti abu yang berterbanga bebas. Menyedihkan..
***
Aku tengah bersama Ka Steven—maksudku Steven di Kantin,
seperti biasanya kami menghabiskan waktu Istirahat di kantin. Suasana kantin
begitu ramai, berbeda sekali dengan hatiku dan pikiranku yang sedang kosong
ini. Aku terdiam sambil mengaduk-aduk makanan ku sedangkan Steven yang berada
di sebelahku terlihat asyik berbicara sendiri, maksudku dia berbicara padaku
tapi bahkan aku tidak mendengarkan sama sekali yang dia bicarakan. Pikiranku sedang
tertuju pada satu nama, Justin. Aku tau aku bodoh. Aku sudah mempunyai seorang
lelaki tampan yang mencintai ku dengan tulus sedangkan aku justru mencintai
orang lain yang bahkan tidak mencintaiku. Ya seorang Justin Bieber tidak
mencintai ku. Aku memang tidak pernah menyatakan perasaan ku padanya karena
bahkan sebelum aku mengatakannya aku sudah menemukan jawabannya. Justin benci
padaku, dia jijik padaku. Aku hanya seorang gadis jelek yang besar kepala
karena merasa pernah menjadi teman masa kecilnya. Ah! Bahkan mungkin hanya aku
saja yang menganggapnya sebagai teman masa kecil. Dia—Justin, Bahkan mungkin
tidak pernah menganggapku begitu. Aku sangat tau dia membenciku, terlihat jelas
dari tatapannya yang tajam, dingin dan begitu mengintimidasi. Aku bisa melihat
api kembencian tersirat dari mata coklat madunya. Mata Coklat madu yang dulu
teduh dan menenangkan, telah hilang dari sekelilingku. Senyum dan tawanya, aku
merindukannya, aku merinduka semua yang ada pada dirinya—dulu.
Lamunanku terhenti saat aku melihat Justin dan ka Ruby
beserta Teman-teman Justin dan—sepertinya teman-teman Ka Ruby memasuki Kantin.
Aku hanya bisa menatap Justin dan Ka Ruby dengan nanar. Rasa sakit itu kembali
muncul. Seperti memiliki alaram saat melihat Justin berasama Ka Ruby. Ya, aku
cemburu pada Ka Ruby, sangat Cemburu. Tapi aku hanya bisa terdiam meratapi
nasibku. Aku tau mungkin aku memang gadis yang tidak pernah bersyukur dengan
apa yang telah aku dapat. Aku telah memiliki Steven yang tidak kalah tampan
dari Justin. Steven baik, perhatian dan nilai tambahnya adalah dia mencintaiku
dengan tulus, bagaimana pun penampilanku. Seperti saat ini aku tetap
berpenampilan seperti biasa, seperti gadis kampung. Tapi aku tidak
mencintainya. Hanya itu yang kurang. Aku mencintai Justin meski aku tau aku
tidak akan pernah bisa mendapatkannya. Aku mencintainya meski aku atau kalau
aku akan terluka. Cinta telah membutakanku, membuatku tidak bisa melihat
laki-laki lain selain Justin. Bahkan di keramaian kantin ini mataku tetap
tertuju padanya, pada Justin yang sekarang bahkan sedang tertawa bahagia
bersama Ka Ruby dan teman-temannya tanpa tau betapa sakitnya aku menatapnya.
Aku kembali melamun, tapi tetap Justin yang ada di fikiranku. Lelaki itu
benar-benar seperti hantu yang terus menghantui fikiranku.
“Perhatian semua yang ada di kantini ini!”, teriak
seseorang yang suaranya sangat kukenal menghentikan lamunanku dan langsung
menatap kearahnya. Damn! Mata kami bertemu sesaat dan aku mendapatkan tatapan
itu lagi. Tatapan dingin dan menusuk yang penuh dengan api kebencian dari
seorang Justin Bieber.
“Aku ingin kalian menjadi saksiku!”, teriaknya lagi
dengan berdiri di atas meja kantin membuat semua murid di kantin dapat
menatapnya. Apa yang dia lakukan?
Lagi-lagi dia menatap kearahku masih dengan tatapannya
yang—kau tau lah. Mengintimidasi. Aku hanya bisa menundukan kepalaku demi
menghindari tatapan itu. Aku tidak mau menangis di sini hanya kerena terus
menatap Justin yang menatapku dengan tatapan dinginnya. Tidak di depan
murid-murid ini.
“Ruby Alison
Mcconnell, aku mencintaimu. Do you want to be mine?”, tanya Justin dengan suara
yang lantang membuat beberapa murid kaget karena pernyataannya tersebut. Dan
setelah itu kantin menjadi hening, menanti jawaban dari sang wanita.
Aku hanya bisa terdiam menganga mendengar semua itu.
Hatiku—Sakit. Sangat Sakit. Rasanya seperti ribuan panah menancap tepat di ulu
hatiku. Membuat nafasku sesak.
“Yes, I want Justin”, Jawab ka Ruby dengan pipi yang
memerah. Seketika kantin menjadi ricuh, penuh dengan sorakan-sorakan dan
kata-kata selamat dari para murid. Beberapa gadis-gadis terdengar cemburu dan
kesal tetapi tentu saja mereka tidak bisa mengalahkan seoarang Ruby Alison Mcconnell yang cantik dan populer. Tidak ada
yang bisa, apa lagi aku.
Steven
terlihat menghampiri Ka Ruby dan memberikan selamat padanya. Sedangkan aku—Aku
hanya bisa terdiam di tempatku, memejamkan mataku menahan air mata yang telah
membendung di pelupuk mataku. Tidak aku tidak boleh menangis, tidak di sini,
tidak sekarang, tidak di depan murid-murid ini. Tapi ini terlalu menyakitkan,
rasanya seperti di neraka!
***
Wednesday, March 1st 2014
Dear Diary
Hari ini hari
ulangtahunnya (Justin) yang ke 16. Ya, dia mengadakan pesta di rumahnya, dan
tentu saja aku di undang. Tidak! Pasti bukan Justin yang mengundangku, tepatnya
Mom Pattie yang mengundangku. Aku tau itu karena Justin membenciku. Dan aku
sangat yakin kalau Justin mengundang Ka Ruby. Tentu saja, Ka Ruby adalah
kekasihnya sekarang. Mereka resmi berpacaran kemarin, di kantin, tepat di depan
muri-murid. Dan—aku menangis semalaman. Aku memang berhasil menahan air mataku
untuk tidak mengalir saat aku berada di sekolah, dan aku berfikir air mata itu
juga tidak akan mengalir lagi. Tapi aku salah. Bahkan sampai hari ini, malam
ini, air mataku masih tetap mengalir. Mereka bermesraan di pesta, tepat di
depan mataku. Itu memang tidak salah karena aku bukan siapa-siapa Justin, dan
pesat itu adalah miliknya. Aku hanya bisa mencoba menjauh dari mereka, Pergi
bersama Steven. Tentu saja aku pergi bersama Steven, dia di undang oleh Justin.
Pestanya sangat meriah tapi—tidak untukku. Aku tidak bisa merasakan perasaan
lain selain—Sakit! Aku terus melamun sepanjang pesta membuat Steven beberapa
kali bertanya tentang keadaanku. Apa yang bisa aku lakukan? Apa lagi setelah
aku melihat mereka—berciuman beberapakali di depan mataku. Aku pergi, bukan
pulang karena aku yakin Mom dan Dad akan bertanya kenapa aku pulang lebih awal.
Aku pergi menuju pohon itu. Pohon yang penuh kenangan ku—bersama Justin.
Beruntung tempat itu sepi, aku bisa menangis di sana, sepuas yang aku mau. Tapi
kenangan di sana Justru membuat hatiku semakin sakit. Aku menangis sendirian di
sana, hingga Steven muncul dan duduk di sebelahku. Dia hanya terdiam, tidak
bertanya apa pun padaku. Aku rasa aku benar-benar tidak bisa lagi membohongi
perasaanku. Aku memutuskan untuk mengatakan padanya, mengatakan kalau aku tidak
mencintainya, dan aku mencintai—Justin. Ya, dia baikhati karena dia menerima
semua itu, dia Justru meminta maaf padaku karena merasa dia egois. Tidak! aku
yang bodoh karena tidak bisa mencintainya. Aku putus dengannya, dan aku Justru
menangis dan mencurahkan semua rasa sakitku pada Justin kepadanya. Dia
memelukku dengan lembut, mencoba menenangkanku. Dan itu Justru membuatku merasa
semakin Bodoh! Sial, Sial, Sial! Kenapa aku tidak bisa hanya mencintainya?!
Kenapa aku harus mencintai Justin yang begitu menyakitkan. Sial! Rasanya aku
ingin menghilang saja..
***
1 Maret. Aku tidak bisa melupakan hari apa ini. Hari ini
adalah Hari ulangtahun Justin, Ulang tahunnya yang ke 16. Aku di Undang ke
pesta ulang tahunnya malam ini, tapi aku yakin dan sangat yakin bukan Justin
yang mengundangku melainkan Mom Pattie. Steven Juga di undang ke pestanya, dan
aku bersyukur dengan hal itu karena aku tidak perlu susah-susah lagi mencari
pasangan untuk pergi ke sana. Aku tau di sana ada Mom Pattie, Dad Jeremy, Jaxon
dan bahkan Jazmyn. Tapi aku butuh teman di sana, seseoreang yang sebaya
denganku yah meskipun Steven tidak sebaya denganku, dia lebih tua satu tahun
dariku. Tapi dia sama-sama anak Whitefield Academy seperti ku, dan dia kekasihku,
meskipun aku tidak mencintainya. Ya aku tidak mencintai Steven, tapi ku harap
aku bisa. Dan untuk masalah pesta itu—aku akan datang. Aku tau aku akan sakit
di sana, karena—yah kalian tau, Ka Ruby akan datang tentunya. Tentu saja, dia
kekasih Justin semenjak kemarin. Ah! Bahkan hatiku kembali mendesis saat
mengingat kejadian kemarin. Aku menangis, menangis semalaman. Aku sudah mencoba
untuk tidak menagis di sekolah dan aku berhasil. Aku fikir air mataku tidak
akan mengalir lagi, tapi aku salah. Begitu tiba di kamarku dan aku menatap
kepada kalungku yang berliontin ‘J.J’ dari pantulan kaca, air mataku kembali
mengalir. Bahkan sampai saat ini aku masih menangis.
Aku mengambil Dress ku yang berwarna
putih dari dalam lemariku dan mengenakannya. Aku telah siap sekarang. Aku tidak
mengepang rambutku malam ini, aku membiarkannya tergerai agar cocok dengan
dress yang ku gunakan. Lagi pula aku akan bertemu dengan Mom Pattie dan dia
tidak pernah melihat gayaku di sekolah. Mom Pattie telah mengenalku lama dan
aku tidak mau mengecewawaknnya hanya karena aku mengepang rambutku. Dia suka
rambut panjangku yang tergerai. Dia bilang aku cantik. Tidak! Aku tidak cantik.
Aku tau dia mengatakan itu karena dia sudah menganggapku seperti anak sendiri,
dan tidak ada orang tua yang akan mengatakan kalau anaknya jelek.
Aku melangkah meninggalkan rumahku
bersama Steven. Kami berjalan kaki menuju rumah kaki karena memang rumah Justin
hanya beberapa rumah dari rumahku, bahkan bisa di bilang berada di depan
rumahku meski sedikit agak kekanan. Suara musik langsung membelai telingaku
begitu aku memasuki rumah ini. Sudah ramai di sini karena acar sudah di mulai
sejak setengah jam yang lalu. Begitu sampai di rumah ini hal pertama yang
kulakukan adalah menghampiri Mom Pattie yang terlihat sibuk menyambut tamu
dengan Dad Jeremy yang sedang mengawasi Jaxon dan Jazmyn yang berlarian
mengelilingi ruangan.
“Hi Mom, maaf aku terlambat”, sapaku
pada Mom Pattie yang langsung di balas dengan pelukan.
“Woah, siapa laki-laki tampan yang
bersamamu ini?”, goda Mom Pattie sambil mengedipkan matanya padaku membuatku
terkekeh.
“Mom ini Steven, kekasihku. Dan
Steven ini Mom Pattie, Emm—Mom Justin”
“-dan mom Jessy. Aku sudah
menganggap Jessy seperti anak ku sendiri. Kau beruntung karena bisa mendapatkan
gadis ku yang cantik ini”, lanjut mom Patti dam aku hanya mengangguk
membenarkan omongan Mom Pattie. Ah, tapi bukan omongannya yang terakhir.
Lalu aku menghampiri Dad Jeremy dan
memeluknya. Menyadari keberadaanku Jaxon dan Jazmyn langsung memeluk kaki ku
membuatku berjongkok agar sejajar dengan mereka.
“Hi Doble J”, sapa ku pada mereka
berdua.
“Hi Jessy. kenapa kamu baru datang
sekarang? Kami menunggu mu sejak tadi”, ucap Jazmyn dengan suara khas anak
kecilnya yang sangat lucu.
“Oh maaf. Aku harus membungkus kado
untuk Justin terlebih dahulu. Jadi kalian sudah menungguku sejak tadi?”, aku
agak berbohong tentang membungkus kado.
“Ya, aku tidak mengenal siapa pun
disini kecuali—Ka Ruby”, lanjut Jazmyn
“Ka Ruby?”, tanyaku mengangkat
sebelah alisku. Ah! Ya aku ingat, Ka Ruby pernah bermain kemari beberapa kali
saat liburan musim dingin.
“Iya. Tapi sekarang ka Ruby sedang
asyik berdua bersama Justin”
“Kau sudah bertemu dengan Justin?”,
tanya Jaxon kemudian.
“Belum. Apa kalian mau mengantarku
menemuinya untuk memberikan kado ini?”, tanyaku pada dua anak manis ini sambil
menunjukan kado yang ku bawa di tanganku.
“Tentu saja!”, teriak mereka girang
dan langsung menarik tanganku cepat. Aku pun melirik Steven dan menatapnya
dengan tatapan ‘Ikuti aku’ dan tidak lama kemudian aku telah sampai di hadapan
Justin—dan Ruby.
“Hi Stev, Hi Jessica”, sapa Ka Ruby
pertama kali.
“Hi”, balasku dan Steven
berbarengan.
“Hi Justin, Happy Birthday dude.
Sorry i can’t give you present”, ucap Steven pada Justin sambil berjabat
tangan. Tapi Justin hanya bersikap datar.
“Emm—Happy Birthday Justin. This is
for you”, aku memberikan hadiah yang ku bawa pada Justin. Sebuah topi. Justin
menyukai topi sejak kecil.
Justin tetap memasang tampang
datarnya, menerima hadiahku dan langsung meletakkannya di meja yang juga sudah
terisi dengan tumpukkan hadiah lainnya.
Melihat sikapnya membuatku hanya bisa menggigit bibir bawahku. Kemudian
aku pergi meninggalkannya dengan alasan mengatar Jaxon dan Jazmyn kembali
kepada Dad Jeremy. Yah tapi aku memang mengantarkan dua anak itu kepada Dad
Jeremy.
Aku hanya terdiam duduk di sebuah
bangku yahng ada di pinggiran ruangan, menatap Dua insan yang tengah bernahagia
itu dengan tapan nanar. Sudah sedari tadi aku hanya terduduk kursi ini setelah
kami melewati beberapa rancangan acara pesta ini. Aku duduk di sini dengan
alasan kelelahan. Tidak, aku tidak lelah sebenarnya. Mungkin juga lelah, lelah
melihat kemesraan dua orang itu. Mereka tidak malu mengumbarnya di keramaina
orang ini. Beberapa kali aku melihat Justin mencium jidat, pipi dan leher Ka
Ruby, menggodanya dengan kata rayuan yang manis. Aku bisa mendengar dan
melihatnya dengan jelas dari sini dan sekarang hatiku terasa sangat perih. Baru
saja aku berhenti menangis tadi sore dan sekarang Justin sudah mau membuatku
menangis lagi. Kenapa dia terlihat senang sekali mebuatku menderita. ah! Tapi
dia tidak tau kalau aku menderita, bahkan dia tidak perduli.
Baru saja aku meneguk sirupku saat
tiba-tiba mataku langsug tertuju pada Justin dan Ka Ruby yang tengah berciuman.
Aku menyembur sirupku, membuat dress putihku terkena noda merah dari sirup
tersebut. Sialan! Aku tidak perduli dengan dress putih sialan ini. Aku terus
mengumpat dengan kata-kata kotor dalam hati sedangkan Steven sedang
membersihkan Dress putihku ini dengan sapu tangannya, membuat dressku yg basah
menjadi agak kering. Aku berterimakasih padanya yang terlampau baik, tapi apa
balasan ku? Membohonginya dengan tidak jujur dengan perasaanku? Bodoh! Aku
menarik nafasku dalam-dalam agar aku tidak menangis. Tidak lagi, jangan sampai
aku menangis di sini. Tapi—Tidak! Kali ini aku gagal menahan air mata ini saat
melihat Mereka—berciuman kembali. Aku berlari dari ruangan itu sambil berharap
tidak ada yang melihat air mata ini. Aku pergi menuju halaman belakang yang
sepi, terduduk di bawah pohon yang penuh dengan kenanganku dan nya. Aku
memangis sekarang, air mataku jatuh tak tertahankan lagi. Sakit! Sakit Tuhan!
Ini sangat menyakitkan! Air mataku terus turun dengan deras membasahi kedua
pipiku. Aku terus menangis sampai dadaku terasa sesak. Cinta ini membunuh ku
dengan perlahan.
Ku dengar langkah kaki mendekatiku
dan sesaat kemudian seseorang terduduk di sebelahku. Steven! Dia hanya terdiam
tak bersuara, tidak bertanya apa pun padaku. Aku masih menangis sesegukan
membuat Steven yang terduduk di sebelahku langsung menarikku kedalam
dekapannya. Aku harus mengatakannya! Aku tidak bisa terus membohonginya. Itu yang
terlintas di fikiranku sekarang.
“Hiks.. Stev”, ucapku yang mencoba
berbicara di sekalah tangisanku.
“Syuuutt.. tenang. Ada apa?”,
tanyanya lembut sembari menenangkan ku.
“Ma—maafkan aku—Hiks. A-aku sudah
membohongimu, hiks. Maafkan aku”
“Sudahlah, tidak ada yang perlu ku
maafkan. Kamu tidak salah apa-apa.”, jawabnya dengan lembut sambil mengelus
punggungku.
“Ti—tidak, aku bersalah. Aku tidak
jujur dengan perasaanku, hiks. Maafkan aku, Tapi aku hanya menganggapmu sebagai
temanku dan kakaku saja, a—aku tidak punya perasaan lebih padamu, tapi aku
mencintai—Justin. hiks”, dia terdiam begitu lama setelah mendengar pengakuanku
membuatku takut kalau dia akan membenciku. Air mataku mengalir semakin deras.
Aku mendengar Steven membuang nafas
panjang, “Tidak, aku yang seharusnya minta maaf padamu. Aku—sebenarnya sudah
tau itu. Aku menyukai mu—meski aku tau kamu menyukai Justin. Aku egois dan
jahat karena telah mencari kesempatan dalam kesempitan. Aku tau semua perasaan
mu itu padanya, aku tau kalau kamu mempunyai kalung darinya yang selalu kamu
kenakan di lehermu itu meski tersembuyi. Aku tau kalau kamu selalu mencoba untu
tidak menangis di depanku, mencoba menahan perasaan mu. aku tau itu meski aku
tidak tau tentang masa lalumu dengannya. Maafkan aku”
“Tidak,
kamu tidak perlu meminta maaf padaku. Hiks. Aku yang salah karena tidak bisa
mencintaimu. Aku benar-benar gadis yang bodoh!”
“Tidak, kamu tidak bodoh. Aku tau
kalau cinta tidak bisa di paksakan. Kamu mencintai Justin dan seharusnya aku
tau itu. Aku tau Seharusnya hubungan ini tidak pernah terjadi. Jadih lebih baik
kita akhiri saja hubungan ini”
“Maaf”, ucapku dengan suara parau
dan steven membalasnya dengan sebuah senyuman yang sangat manis. Sial! Dia
benar-benar laki-laki yang baik dan aku benar-benar bodoh karena telah
menyia-nyiakannya.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?”,
tanya Steven lembut mebuatku teringat akan kejadian Ciuman Sialan itu lagi.
Damn! Air mataku kembali mengalir.
“Dia Sudah bersama Ka Ruby. Aku
tidak bisa apa-apa. Aku kalah. Hiks. Sakit. Sakit sekali saat melihat mereka
berdua bermesraan. Sakit sekali seperti di neraka! Rasanya ingin menghilang
saja! Hiks. Aku ingin menghilang saja!”, aku menangis di dalam pelukan Ka
Steven sambil mencurahkan semua rasa sakit di dalam hatiku padanya dan Ka
Steven hanya terdiam tersu mendengarkan sambil tetap mengelus punggungku untuk
menenangkan ku. Benar-benar malam yang menyakitkan!
Jessy
Justin With Ruby in his Birthday
Tidak ada komentar:
Posting Komentar