Monday, March 6th 2014
Dear Diary
Sepertinya Tuhan medenga
harapanku, yang mengatakan aku ingin menghilang. Entah ini akan menjadi kabar
baik atau buruk untukku. Aku akan pindah ke Paris. Dad harus megurusi cabang
perusahaannya di sana yang sedang dalam masa-masa sulit, dan Dad mengajak kami
ikut kesana. Dad bilang kalau keluarga harus selalu bersama, terlebih lagi Dad
hanya memiliki aku dan Mom saja sebagai keluarganya. Dia tidak mau meninggalkan
aku dan Mom sendirian di rumah yang besar ini, jadi dia memutuskan untuk
membawa kami ke sana. Aku sedikit bersyukur dengan kepindahan ini, tapi apa ini
benar-benar adalah pilihan yang tepat? Pergi tanpa menyelesaikan semuanya. Tapi
apa yang harus ku selesaikan? Aku rasa semua sudah selesai, Seperti hubunganku
dengan Ka Steven dan—persahabatanku dengan Justin. Semua telah selesai dan aku
juga harus menyelesaikan perasaan ini. Mungkin di paris sana aku akan menemukan
laki-laki lain yang akan mencintaiku dengan tulus dan semoga aku Juga dapat
mencintai lelaki itu. Aku juga mau belajar untuk berbaur dengan teman-teman
baruku di sanan nanti, dan aku berhrap aku akan mendapatkan teman di sana. 2
hari lagi, aku hanya punya 2 hari lagi untuk menghabiskan waktu ku di sini
sebelum aku akan pindah. Karena pada hari kamis aku akan segera pergi,
meniggalkan semua kenangan indah dan kenangan burukku di sini. Aku ingin
membuka lembaran baru di sana. Tidak boleh lagi ada tangisan, dan kesedihan.
Aku mau merubahnya dan menjalani hidupku dengan tawa dan kebahagiaan. Semoga
tuhan mau mendengarkan harapanku ini. Masalah kepindahan ini. Aku sudah
mengatakannya kepada Ka Steven. Dia cukup kaget dengan pemberitahuan ini, ya
sama seperti aku ketika pertama kali mendengar pemberitahuan ini dari Dad tadi
pagi. Aku hanya memberitahu hal ini pada Ka Steven, ya memang karena hanya dia
lah satu-satunya temanku. Tapi aku sudah meminta Ka Steven untuk tidak
mengatakannya pada Ka Ruby atau pun—Justin. Untuk apa juga dia mengetahuinya.
Dia tidak akan perduli dan aku rasa dia justru akan merasa senang dengan
kepindahannku ini. Dia tidak akan pernah bertemu dengankku lagi. Tapi aku cukup
sedih karena harus meninggalkan Mom Pattie, Dad Jeremy, Jaxon dan Jazmyn.
Mereka sudah ku anggap seperti keluarga kedua ku. Tidak, mereka belum ku
beritahu. Mungkin besok, atau lusa aku baru akan memberitahukannya. Memang
medadak, justru aku sengaja agar ereka tidak memberitahukan pada Justin. Aku
tidak mau melihat muka senang Justin saat melihatkku yang akan pindah. Aku
tidak mau karena itu akan terasa sangat sakit.
2 hari. Hanya 2 hari yang
ku punya. Aku rasa aku akan mendatangi beberapa tempat kenanganku di sini.
Tidak banyak aku rasa karena aku hanya memiliki sedikit kenangan indah di sini,
dan itu terjadi sudah sangat lama. Mungkin paling banyak kenanganku adalah bersama
Justin. Aku pasti akan menangis lagi. Tidak apa. Ini yang terakhir kalinya dan
aku berharap setelah ini tidak akan ada lagi air mata kesedihan yang jatuh dari
mataku ini. Aku Juga akan meghabiskan waktu ku dengan Ka Steven, mungkin selama
satu hari aku akan berpergian bersamanya. Kami kembali bersahabat sekarang,
semenjak kejadian di pesta ulang tahun Justin yang penuh air mata itu. Mungkin
aku akan menghabiskan waktuku brsama Ka Steven dengan bercerita semua kenangan
dan keluh kesahku tentang Justin. Dia yang meminta, dia mau aku bercerita
tentang Justin. Maka akan ku ceritakan. Aku tau aku pasti menangis saat
bercerita, tapi aku tau Ka Steven dengan siap akan memberikan pelukannya untuk
menenangkan ku, seperti saat itu. Aku bersyukur bisa menemukan seseorang
sepertinya meski dalam waktu yang cukup singkat. Aku menyayanginya, sebagai
kaka ku. Aku harap aku akan menemukan seseorang seperti Ka Steven di Paris.
Seseorang yang bisa mengerti aku, yang bisa memberikan bahunya saat aku
bersedih, memberikan waktunya saat aku kesepian, seseorang yang mau
mendengarkan keegoisanku dan seluruh keluh kesahku, dan seseorang yang dapat
menerimaku apa adanya. Ka Steven benar-benar sosok kaka yang sangat ku impikan,
tapi sebentar lagi aku akan berpisah darinya. Aku akan berpisah dengan semua
orang yang ku sayangi di sini.
***
Baru saja aku terduduk di meja makan untuk sarapan, tapi
hal itu tertunda saat aku melihat muka serius Dad yang tampak ingin berbicara
padaku.
“What happened Dad?”, tanyaku penasaran.
“Ada sesuatu yang ingin Dad beritahu padamu dan Dad
berharap kamu bisa menerimanya.”
“Apa itu? Katakan saja Dad.”
“Kita Sekeluarga, Dad, Mom, dan Kamu akan—pindah ke
Paris”, Ucapan Dad tersebut membuatku tersedak saat aku baru saja meneguk
susuku.
“Uhuk, uhuk. Pi—pindah Dad?”, jawabku dengan
terbatuk-batuk.
“Ya Pindah.”
“Ya Pindah.”
“Tapi kenapa?”, aku mencoba untuk setenang mungkin.
“Perusahan Dad yang ada di paris sedanng dalam masa-masa
yang sulit dan Dad haru kesana menanganinya dan itu menggunakan waktu yang
tidak sebentar sayang, jadi kita harus pindah ke sana.”
“Tapi kanapa tida Dad saja yang pergi ke sana sendiri.
Aku masih bisa di sini bersama Mom.”
“Tidak sayang, Dad tidak mau meninggalkanmu di rumah
besar ini hanya berdua dengan Mom saja. Dad tidak mau ada sesuatu hal buruk
yang akan terjadi dengan kalian berdua. Hanya kalian yang Dad punya di sini.”,
ya Dad memang sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi karena kedua Orang tua Dad
telah lama meninggal. Dan sodara? Dad tidak mempuanyai sodara, Dad anak tunggal
seperti aku.
“Ada keluarga Bieber yang sudah sangat dekat dengan kita,
Mereka pasti akan menjaga kami juga”, lanjutku lagi. Entah lah, cukup berat
meninggalkan Kanada setelah lama aku tinggal di sini.
“Sayang. Dad tau terlalu berat untuk mu mennggalkan Kanada
yang berisi kenangan tetapi Kita adalah keluarga dan Keluarga itu harus selalu
bersama. Dad harap kamu bisa menerima keputusan Dad untuk pindah ini. Kita akan
berangkat ke paris 3 hari lagi.”, aku semakin kaget mendengar kaliamat terakhir
Dad. 3 Hari lagi? Ini gila! Ini terlalu mendadak. Bahkan aku belum sempat
berpamitan, oh ok aku memang tidak mempunyai teman selain Ka Steven tapi tetap
saja ini terlalu mendadak.
“Baiklah Dad, kau tau kalau aku paling tidak bisa menolak
kemauanmu”, jawabku pasrah.
***
“Äku akan pindah ke Paris 3 hari lagi”, ucapku membuat
lelaki di sebelahku memasang muka terkejutnya. Aku sedang berada di halaman
sekolah bersama Ka Steven.
“Are you kidding?!”, aku bisa melihat rau keterkejutan
dari muka ka Steven. Aku tau dia pasti akan terkejut, sama seperti aku. Bahkan
kata-kata Dad tadi pagi terasa seperti mimpi bagiku.
“No, i’m not. Dad memberitahukan ku tadi pagi kalai kami
sekeluarga akan pinda ke paris”
“Tapi—ini sangat mendadak bukan. 3 hari lagi. Yang benar
saja! Astaga jessica!”, aku hanya terkekeh mendengar oceha ka Steven.
“Bukan kah bagus kerena berarti keinginan ku terkabul.
Aku pernah berkata kalau aku ingin menghilang dan tada, 3 hari lagi aku akan
menghilang darinya”, ucapku sabil tersenyum tipis. Ka Steven hanya bisa terdiam
mendengar kata-kataku tersebut.
“Ini sudah takdirku. Mungkin aku memang tidak di
takdirkan untuk bersamanya. Aku Justru bersyukur karena aku tidak akan pernah
tersakiti lagi karenanya. Aku—tidak akan sedih lagi karena melihatnya bersama Ka Ruby. Dan
mungkin di sana aku akan menemukan orang lain yang bisa menggantikanya di
hatiku”, lanjutku.
“Baiklah, itu
memang sudah jalanmu. Aku berharap kamu aan bahagia di sana. Aku pasti akan
sangat merindukan mu di sini”, Ka Steven memelukku.
“Jaman sudah
maju bukan. Kita memang jauh, tapi aku masih bisa menghubungimu. Kita masih
bisa berkirm pesan lewat SMS atau email, kalau kau rindu dengan wajahku, kita
bisa bervideo chat.”
“Ya, kau
benar. Kita bisa melakukan itu. Tapi—aku hanya takut kau akan melupakanmu
seteah mendapatkan teman-teman baru di sana.”
“Tidak akan
pernah! Aku berjanji padamu. Kamu adalah satu-satunya orang di sini yang mau
menjadi temanku, yang menerimaku apa adanya. Kamu mau menurut ke egoisanku,
kamu selalu ada di saat aku sedih mau pun senang, kamu mau mendengarkan keluh
kesahku, menemaniku di saat aku kesepian. Aku tau kita belum lama brkenalan.
Tapi dengan seluruh kebaikan yang ada pada dirimu, bagaimana bisa aku
melupakanmu begitu saja. Lagi pula kamu sudah ku anggap seperti kaka ku
sendiri.”
“Ya, aku bisa
pegang janjimu itu.”
“Tapi apa kah
kamu mau berjanji padaku?”, tanyaku yang membuatnya menatap ke arahku.
“Apa itu?”
“Jangan
katakan pada siapa-siapa tentang ke pidahanku ini. tidak pada Ka Ruby bahkan
pada—Justin. Biarkan ini menjadi rahasia. Biarkan mereka tau dengan senirinya
setelah aku pergi.”
“Kenapa kamu
tidak Justin tau? Siapa tau dia akan menahanmu untuk tidak pergi.”, Tanya ka
Steven membuatku menarik nafasku panjang.
“It’s just in
my dreams.”, ucapku dengan suara kecil, terlampau kecil hingga ku rasa ka
Steven tidak bisa mendengarnya.
***
Wednesday, March 8th 2014
Dear Diary
2 hari. Tidak terasa 2
hari telah berlalu degan sangat cepat. Aku sudah mecoba menggunakan 2 hari ini
dengan sebaik-baiknya. Aku mendatangi tempat-tempat kenanganu. Danau yang tidak
jauh dari rumah, taman yang berada beberaa blok dari rumah ku, Rumah pohon yang
berada di halaman belakang rumahku, dan—Pohon yang berada di halaman rumah
Justin. Aku seperti sedang memutar ulang filem masa kecilku dalam otakku. Ah!
Aku Juga telah memberitahuan tentang kepindahanku pada Mom Pattie sore tadi.
Dia kaget, sangat kaget kerena aku memberitahukannya sangat mendadak. Dia
menagis, memelukku seakan akan segera kehilangan anak perempuannya. Tapi aku
memang sudah di anggap seperti anak. Aku pasti akan sangat merindukannya.
Hari ini dan kemarin
benar-benar berhasil menghabiskan air mataku. Aku terus menangis selama 2 hari
ini. Aku menangis saat bercerita tentang Justin pada Ka Steven, aku menangis
saat aku mengenang semua kenanganku. Tapi tidak apa aku menangis sekarang
karena aku sudah bertekat untuk tidak menangis lagi setelah itu. Aku
benar-benar akan membuka lembaran baruku di paris. Dan masalah Justin. Dia
masih seperti biasa. Menatap ku dengan dingin jika bertatapan denganku. Tidak
apa! Setidaknya dia tidak tersenyum karena merasa senang aku akan pergi. Ya,
dia bena-benar tidak tau degan kepindahanku ini. Aku bersyukur akan itu.
Biarkan dia mengetahui semua itu dengan sendirinya, setelah aku pergi tentunya.
Sekarang aku hanya bisa berharap dia akan bahagia dengan kehdupannya disini
tanpa ada aku. Ya dia pasti bahagia.
***
Aku sedang
berada di bawah pohon rindang yang ada di halaman belakang rumah Justin. Aku
terduduk sendirian disini sambil mulai memutar kenangan-kenangan yang pernah
terjadi di sini dalam otakku. Aku memejamkanmataku dan air mata pun kembali
mengalir di kedua pipiku yang sudah sangat pucat karena menangis seharian.
Kenangan saat
Justin memberikan kalung padaku terputar di kepalaku dengan sangat jelas,
seakan semua itu baru saja terjadi padaku. Ku genggam erat liontin kalung
pemberian Justin yang tergantung di leherku.
“Aku punya sebuah kalung untuk kamu. Kalung ini kuberikan
sebagai teman mu di malam hari, karena aku tidak bisa datang menemani mu saat
malam dan kalung itu sebagai bukti kalau kamu akan menjadi teman ku selamanya”
“Kalung yang cantik, di mana kamu mendapatkannya?”
“Aku meminta mom membelinya untuk ku berikan pada mu saat
aku pergi ke pasar malam. “J.J” adalah kepanjangan dari Justin dan Jessy”
“Aku akan menjagga kalung ini.”
“Janji?”
“Ya aku berjanji!”
Aku terisak.
Kenangan itu adalah kenangan paling indah juga paling menyakitkan dalam
hidupku. “sebagai bukti kalau kamu akan
menjadi teman ku selamanya”. Bodoh! Aku benar-benar polos karena
mengharapkan seorang bocah kecil akan menepati janjinya. Itu hanya sebuah janji
yang di buat oleh seorang bocah umur 5 tahun yang bahkan belum mengerti makna
kata janji yang sebenarnya. Aku kembali memejamkan mataku, menarik nafasku
dalam-dalam dan membuangnya selama beberapa kali hingga aku mulai merasa
tenang. Setelah tenang aku pun membuaka kembali matakku dan menghapus air mata
yang telah membasahi pipi dan mataku. Tidak lama setlah itu aku dapat mendengar
Suara pintu terbuka dan kembali tertutup. “Siapa itu?”, tanyaku dalam hati. Aku
hanya takut Jika aku akan bertemu Justin sekarang. Tidak! Aku belum siap. Aku
melangkahkan kaki ku masuk kedalam rumah itu, rumah yang sepi karena memang
penghuninya sedang keluar dan menitikan rumahnya padaku.
“Hi Jessy,
Terimakasih karena sudah mau menjaga rumah”, ucap seseorang yang ternyata
adalah Mom Pattie. Aku menarik nafasku lega.
“Sama-sama.
Kebetulan aku memang ada keperluan di sini tadi. Dan—Ada yang mau ku
beritahukan padamu mom”, nada bicaraku berubah menjadi serius tapi ragu-ragu.
“Apa itu?”,
tanya Mom Pattie.
“Emm—Aku,
masudku kami sekeluarga besok akan pindah”, begitu aku menyelesaikan
kata-kataku wajah terkejut langsung terpamang di muka Mom Pattie.
“Pindah?!”
“Iya Mom. Maaf
karena baru bisa memberitahukan mu sekarang. Aku tau ini sangat mendadak
untukmu.”
“Tapi kenapa?
Dan kemana kalian akan pindah?”
“Kami akan
pindah ke Paris Mom. Cabang perusahaan Dad di sana sedang dalam masa-masa
sullit dan Dad harus kesana menanganinya. Dan kau tau kalau hal seperti itu
perlu waktu yang lama, jadi—kami harus pindah.”
“Oh my god!
Aku benar-benar terkejut sekarang. Putri kesayanganku akan pindah besok dan
baru memberitahukan ku sehari sebelumnya.”
“Maaf”, ucapku
sambil menunduk menyesal. Tidak terasa tiba-tiba sebuah tangan telah membawaku
ke dalam dekapannya. Aku bisa mendengar isakan Mom Pattie dari sini. Dia
menangis?
“Oh Mom jangan
menangis.”, aku mencoba menenangkannya.
“Oh sayang,
aku pasti akan sanngat kesepian tanpa kamu.”
“Aku juga mom.
Tapi aku berjanji akan sering menghubungi mu”, aku melepaskan diiku dari
pelukan mom pattie dan mengusap air matanya sambil tersenyum tulus padanya.
“Aku pasti
akan sangat merindukanmu.”
“ya, Aku juga
mom. Aku sangat menyayangimu, mom sudah ku anggap sebagai ibu kedua untukku.”
“Oh sayang,
jam berapa kamu akan berangkat besok?”
“Pagi-pagi
sekali. Dan aku rasa Mom tidak bisa mengantar kami kebandara.”
“Mom rasa juga
demikian. Jaga drimu baik-baik di sana ya sayang.”
“Tentu mom.
Sekarang aku mau pulang untuk membereskan sisa-sisa barang yang masih belum di
bereskan. Tapi sebelum itu aku ingin berpamitan terlebih dahulu dengan Jaxon
dan Jazmyn.”, Mom Pattie hanya mengangguk dan aku pun segera melangah menuju
Kamar kedua bocah kecil itu yang berada di latai atas. Mereka sedang tertidur,
itu sebabnya Mom pattie memintaku untuk menjaga rumahnya. Dan sekarang aku akan
beramitan dengan mereka karena besok aku tidak akan bertemu dengan mereka lagi.
Aku hanya akan sekedar metapa muka tidur mereka yang menggemaskan dan sedikit
mencium mereka.
Kubuka Pintu
kamar mereka dengan perlahan agar tidak menimbulkan bunyi berisik yang akan
membangunan mereka nantinya. Begitu masuk ke dalam kamar itu aku pun segera
menghampiri kasur mereka yang bersebelahan. Kutarik sebuah bangku kecil
ketengah-tengah celah dari kasur mereka dan duduk di bangku tersebut. Aku hanya
terdiam di sana, memangdang wajah mereka yang damai saat tertidur. Mereka pasti sangat lelah setelah bermain
seharian. Mereka adalah anak-anak yang aktif. Tingkah dan kepolosan mereka
selalu berhasil membuatku gemas sendiri.
“Kenapa kaka tidak berpacaran dengan Justin saja?”, tanya
gadis kecil di hadapanku ini.
“Itu tidak mungkin, kami bersahabat”
“Tapi kalian berdua cocok. Aku akan sangat senang jika
kalian berdua berpacaran”, lanjut gadis kecil itu membuatku menarik nafas
berat.
“Kamu tidak mengerti kami sayang. Justin—”
“-Membenciku”, lanjutku dengan suara kecil yang bahkan
tidak akan terdengar oleh Jazmyn.
Kenangan itu
melintas begitu saja di otakku, membuatku memejamkan mataku sejenak. Air mataku
kembali mengalir dari mataku tapi kemudian aku segera menghapusnya. Aku kembali
ke aktifitas awalku, memandangi kedua bocah cilik di depanku yang tengah
tertidur. Bocah cilik yang sudah ku anggap seperti adikku sendiri. Aku
menyayangi mereka. sangat. Rasanya sangat berat harus meninggalkan mereka,
berpisah dengan mereka dan tidak akan pernah lagi mendengar tawa dan candaan
mereka. Mereka lah yang selalu bisa membuatku melupakan semua rasa sakit yang
terjadi dalam hidupku. Mereka adalah malaikat-malaikat kecilku dan hari ini
terakhir kalinya aku akan menatap wajah lugu mereka.
Lamunan ku
terhenti saat aku melihat Iphone ku yang menyala karena kedatangan pesan baru.
Segera ku buka pesan tersebut yang ternyata dari Mom. Mom memintaku untuk
segera pulang membereskan sisa barangku yang masih tertinggal. Dengan lincah
jariku mengetik sebuah pesan singkat dan mengirimnya pada Mom. Aku kembali
memandang dua bocah kecil di depanku san bangkit dari dudukku. Ku hampiri mereka
satu persatu dan mengecup kening dan pipi mereka.
“Selamat
tinggal Malaikat-malaikat kecilku. Aku pasti akan sangat merindukan kalian”,
gumaku kemudian pergi meninggalkan mereka yang tetap terlelap dalam mimpi indah
mereka.
***
Thursday, March 9th 2014
Dear Diary
Hari ini tiba juga. Hari
terakhir aku melangkahkan kaki ku di tanah Kanada yang penuh dengan memori.
Aku—pasti akan merindukan segala hal yang ada di sini termaksud—Justin. Tapi
aku sudah bertekat. Aku akan melupakannya. Aku akan membuka lembaran baru di
paris dan meninggalkan kenangan lama ku di sini. Ini lembar terakhir dari buku
Diary ku. Aku sangat berterimakasih dengan buku ini karena telah menemani dan
mendengar semua penatku selama beberapa tahun kemarin. Semua kenangan pahit dan
membahagiakan tertulis dengan rapih dalam buku Diary ini. Ini goresan
terakhirku sebelum aku meninggalkan Kanada, sebelum aku meninggalkan buku ini.
Ya, aku tidak akan membawa buku ini, buku yang penuh dengan kenangan-kenangan
bersama Justin. Ini adalah lembar terakhir yang menjadi saksi bisu kepergianku.
Setelah ini mungkin aku akan membeli buku Diary baru dan mengisinya dengan
kenanga-kenangan baru di sana. Aku berharap buku itu akan berisis dengan
cerita-cerita bahagia hidupku, tidak seperti buku ini yang berisis dengan
cerita pahit yang membuat air mataku jatuh di atas lembarannya. Aku sudah
bertekat dan berjanji untuk tidak akan menangis lagi. Ini yang terakhir. Hari
ini terakhir. Aku hanya akan menangis karena perpisahan hari ini dan aku
bertjanji tidak akan menangis lagi. Aku berharap hidupku akan berbeda di sana.
Tidak ada tangisan, hanya senyum dan tawa kebahagiaan. Tidak ada seorang Justin
Bieber yang akan melukai hatiku. Dan aku fikir di buku ku yang selanjutnya akan
berisis beberapa kata dengan bahasa perancis. Ya aku pasti akan belajar bahasa
perancis di sana. Memenuhi buku diary ku dengan bahasa yang unik itu.
Jadi ini lah perjalanan
terakhirku. Gadis asal kanada yang pergi meninggalkan seluruh memorinya. Aku
pergi tanpa membawa kenangan apapun dari sini tentang Justin. Tidak! Aku tidak
mau menangis lagi hanya karena mengingiat kenangan itu. Maka dari itu aku
meninggalkannya, semuanya termaksud kalung berliontin “J.J” dari Justin. Aku
akan menyelipkannya di dalam buku ini.
Aku akan menghilang dari hidupnya.
Bukan berarti aku kabur. Aku hanya merelakannya demi kebahagiaanya. Dia bukan
takdirku. Aku mencintainya dalam kesakitan ini, dan sekarang aku akan
melepaskannya. Semoga dia bahagia dengan kehidupannya tanpa diriku. Selamat
tinggal Justin Bieber. Cinta pertama ku yang menyakitkan..
“Terkadang kita harus belajar
melepaskan cinta demi mendapatka kebahagian yang besar nantinya. Itu lah aku
yang melepaskannya demi kebahagiaanku lainnya.”
***
Ku letakkan buku diary ku di atas sebuah meja kosong yang
berada di pojok kamarku. Aku tidak akan membawa buku itu dan juga kalung
pemberian Justin. Aku juga meninggalkan semua benda kenangan ku di rumah ini.
ini pilihan ku. Aku berharap ini adalah pilihan yang tepat agar aku tidak lagi
mengingat kenangan pahit di sini. Aku hanya ingin membuka sebuah lembaran baru
dan aku berharap lembaran baru ku itu akan berisi cerita bahagia.
Air mataku mengalir kembali. Setelah semalam aku terus
menangis di kamar ini, dan pagi ini aku berharap tidak menangis lagi. Tapi
semua ini benar-benar berhasil menghabiskan air mataku. Tapi tidak apa karena
setelah hari ini aku berjanji untuk tidak menangis lagi.
Ku sentuh buku Diaryku untuk yang terakhir kalinya dan
aku memejam kan mataku, mengingat kenangan apa saja yang terukir di dalam diary
itu dan membuatnya menjadi sebuah film pendek yang melintas dalam ingatanku. Ku
gengam kalung yang masih tergantung di leherku dengan tanganku yang lain dan
kenanga masa kecil kembali terlintas.
“Aku punya sebuah kalung untuk kamu. Kalung ini kuberikan
sebagai teman mu di malam hari, karena aku tidak bisa datang menemani mu saat
malam dan kalung itu sebagai bukti kalau kamu akan menjadi teman ku selamanya”
“Kalung yang cantik, di mana kamu mendapatkannya?”
“Aku meminta mom membelinya untuk ku berikan pada mu saat
aku pergi ke pasar malam. “J.J” adalah kepanjangan dari Justin dan Jessy”
“Aku akan menjagga kalung ini.”
“Janji?”
“Ya aku berjanji!”
Semua memori
itu terus berputar di dalam kepalaku layaknya aku sedang menonton sebuah filem
kehidupanku. Setiap adegannya terasa seperti baru saja terjadi padaku. Terus
dan terus memori itu berputar tanpa memperdulikan seberapa banyak lagi air mata
yang telah mengalir dari mataku. Semuanya terus berlanjut sampai suara Mom
menghentikan aktifitas mengingatku ini.
“Sayang, apa
kamu sudah selesai di atas, kita harus segera berangkat karena taksi sudah
datang”, teriak mom dari bawah sana membuat aku kembali membuka mataku yang
telah basah karena air mata.
“Tunggu
sebentar lagi mom”, jawabku dengan suara yang dibuat senormal mungkin. Aku
menarik nafasku dalam-dalam untuk menormalkan nafasku yang tidak beraturan
setelah menangis. Kemudian aku melepas kalung berliontin “J.J” yang masih
tergantung di leherku, menggenggamnya sejenak dan meletakkannya di dalam buku Diaryku.
Kupandang Diaryku untuk yang terakhir kalinya sebelum akhirnya aku pergi
menjauh. Tepat di dean pintu kamarku aku kembali berbalik menatap nanar kearah
buku tersebut dan kemudian tersenyum simpul.
“Good Bye Canada, Good bye Justin, I hope for
your happiness. Thanks for all the memories here. I love you..”
Jessy
Jessy Recall old memories under the tree
Jessy before moving
Tidak ada komentar:
Posting Komentar