Minggu, 05 Januari 2014

Dear Diary part 7





Monday, March 6th 2014
Dear Diary

            Sepertinya Tuhan medenga harapanku, yang mengatakan aku ingin menghilang. Entah ini akan menjadi kabar baik atau buruk untukku. Aku akan pindah ke Paris. Dad harus megurusi cabang perusahaannya di sana yang sedang dalam masa-masa sulit, dan Dad mengajak kami ikut kesana. Dad bilang kalau keluarga harus selalu bersama, terlebih lagi Dad hanya memiliki aku dan Mom saja sebagai keluarganya. Dia tidak mau meninggalkan aku dan Mom sendirian di rumah yang besar ini, jadi dia memutuskan untuk membawa kami ke sana. Aku sedikit bersyukur dengan kepindahan ini, tapi apa ini benar-benar adalah pilihan yang tepat? Pergi tanpa menyelesaikan semuanya. Tapi apa yang harus ku selesaikan? Aku rasa semua sudah selesai, Seperti hubunganku dengan Ka Steven dan—persahabatanku dengan Justin. Semua telah selesai dan aku juga harus menyelesaikan perasaan ini. Mungkin di paris sana aku akan menemukan laki-laki lain yang akan mencintaiku dengan tulus dan semoga aku Juga dapat mencintai lelaki itu. Aku juga mau belajar untuk berbaur dengan teman-teman baruku di sanan nanti, dan aku berhrap aku akan mendapatkan teman di sana. 2 hari lagi, aku hanya punya 2 hari lagi untuk menghabiskan waktu ku di sini sebelum aku akan pindah. Karena pada hari kamis aku akan segera pergi, meniggalkan semua kenangan indah dan kenangan burukku di sini. Aku ingin membuka lembaran baru di sana. Tidak boleh lagi ada tangisan, dan kesedihan. Aku mau merubahnya dan menjalani hidupku dengan tawa dan kebahagiaan. Semoga tuhan mau mendengarkan harapanku ini. Masalah kepindahan ini. Aku sudah mengatakannya kepada Ka Steven. Dia cukup kaget dengan pemberitahuan ini, ya sama seperti aku ketika pertama kali mendengar pemberitahuan ini dari Dad tadi pagi. Aku hanya memberitahu hal ini pada Ka Steven, ya memang karena hanya dia lah satu-satunya temanku. Tapi aku sudah meminta Ka Steven untuk tidak mengatakannya pada Ka Ruby atau pun—Justin. Untuk apa juga dia mengetahuinya. Dia tidak akan perduli dan aku rasa dia justru akan merasa senang dengan kepindahannku ini. Dia tidak akan pernah bertemu dengankku lagi. Tapi aku cukup sedih karena harus meninggalkan Mom Pattie, Dad Jeremy, Jaxon dan Jazmyn. Mereka sudah ku anggap seperti keluarga kedua ku. Tidak, mereka belum ku beritahu. Mungkin besok, atau lusa aku baru akan memberitahukannya. Memang medadak, justru aku sengaja agar ereka tidak memberitahukan pada Justin. Aku tidak mau melihat muka senang Justin saat melihatkku yang akan pindah. Aku tidak mau karena itu akan terasa sangat sakit.
            2 hari. Hanya 2 hari yang ku punya. Aku rasa aku akan mendatangi beberapa tempat kenanganku di sini. Tidak banyak aku rasa karena aku hanya memiliki sedikit kenangan indah di sini, dan itu terjadi sudah sangat lama. Mungkin paling banyak kenanganku adalah bersama Justin. Aku pasti akan menangis lagi. Tidak apa. Ini yang terakhir kalinya dan aku berharap setelah ini tidak akan ada lagi air mata kesedihan yang jatuh dari mataku ini. Aku Juga akan meghabiskan waktu ku dengan Ka Steven, mungkin selama satu hari aku akan berpergian bersamanya. Kami kembali bersahabat sekarang, semenjak kejadian di pesta ulang tahun Justin yang penuh air mata itu. Mungkin aku akan menghabiskan waktuku brsama Ka Steven dengan bercerita semua kenangan dan keluh kesahku tentang Justin. Dia yang meminta, dia mau aku bercerita tentang Justin. Maka akan ku ceritakan. Aku tau aku pasti menangis saat bercerita, tapi aku tau Ka Steven dengan siap akan memberikan pelukannya untuk menenangkan ku, seperti saat itu. Aku bersyukur bisa menemukan seseorang sepertinya meski dalam waktu yang cukup singkat. Aku menyayanginya, sebagai kaka ku. Aku harap aku akan menemukan seseorang seperti Ka Steven di Paris. Seseorang yang bisa mengerti aku, yang bisa memberikan bahunya saat aku bersedih, memberikan waktunya saat aku kesepian, seseorang yang mau mendengarkan keegoisanku dan seluruh keluh kesahku, dan seseorang yang dapat menerimaku apa adanya. Ka Steven benar-benar sosok kaka yang sangat ku impikan, tapi sebentar lagi aku akan berpisah darinya. Aku akan berpisah dengan semua orang yang ku sayangi di sini.

***

            Baru saja aku terduduk di meja makan untuk sarapan, tapi hal itu tertunda saat aku melihat muka serius Dad yang tampak ingin berbicara padaku.

            “What happened Dad?”, tanyaku penasaran.
            “Ada sesuatu yang ingin Dad beritahu padamu dan Dad berharap kamu bisa menerimanya.”
            “Apa itu? Katakan saja Dad.”
            “Kita Sekeluarga, Dad, Mom, dan Kamu akan—pindah ke Paris”, Ucapan Dad tersebut membuatku tersedak saat aku baru saja meneguk susuku.
            “Uhuk, uhuk. Pi—pindah Dad?”, jawabku dengan terbatuk-batuk.
            “Ya Pindah.”
            “Tapi kenapa?”, aku mencoba untuk setenang mungkin.
            “Perusahan Dad yang ada di paris sedanng dalam masa-masa yang sulit dan Dad haru kesana menanganinya dan itu menggunakan waktu yang tidak sebentar sayang, jadi kita harus pindah ke sana.”
            “Tapi kanapa tida Dad saja yang pergi ke sana sendiri. Aku masih bisa di sini bersama Mom.”
            “Tidak sayang, Dad tidak mau meninggalkanmu di rumah besar ini hanya berdua dengan Mom saja. Dad tidak mau ada sesuatu hal buruk yang akan terjadi dengan kalian berdua. Hanya kalian yang Dad punya di sini.”, ya Dad memang sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi karena kedua Orang tua Dad telah lama meninggal. Dan sodara? Dad tidak mempuanyai sodara, Dad anak tunggal seperti aku.
            “Ada keluarga Bieber yang sudah sangat dekat dengan kita, Mereka pasti akan menjaga kami juga”, lanjutku lagi. Entah lah, cukup berat meninggalkan Kanada setelah lama aku tinggal di sini.
            “Sayang. Dad tau terlalu berat untuk mu mennggalkan Kanada yang berisi kenangan tetapi Kita adalah keluarga dan Keluarga itu harus selalu bersama. Dad harap kamu bisa menerima keputusan Dad untuk pindah ini. Kita akan berangkat ke paris 3 hari lagi.”, aku semakin kaget mendengar kaliamat terakhir Dad. 3 Hari lagi? Ini gila! Ini terlalu mendadak. Bahkan aku belum sempat berpamitan, oh ok aku memang tidak mempunyai teman selain Ka Steven tapi tetap saja ini terlalu mendadak.
            “Baiklah Dad, kau tau kalau aku paling tidak bisa menolak kemauanmu”, jawabku pasrah.

***

            “Äku akan pindah ke Paris 3 hari lagi”, ucapku membuat lelaki di sebelahku memasang muka terkejutnya. Aku sedang berada di halaman sekolah bersama Ka Steven.
            “Are you kidding?!”, aku bisa melihat rau keterkejutan dari muka ka Steven. Aku tau dia pasti akan terkejut, sama seperti aku. Bahkan kata-kata Dad tadi pagi terasa seperti mimpi bagiku.
            “No, i’m not. Dad memberitahukan ku tadi pagi kalai kami sekeluarga akan pinda ke paris”
            “Tapi—ini sangat mendadak bukan. 3 hari lagi. Yang benar saja! Astaga jessica!”, aku hanya terkekeh mendengar oceha ka Steven.
            “Bukan kah bagus kerena berarti keinginan ku terkabul. Aku pernah berkata kalau aku ingin menghilang dan tada, 3 hari lagi aku akan menghilang darinya”, ucapku sabil tersenyum tipis. Ka Steven hanya bisa terdiam mendengar kata-kataku tersebut.
            “Ini sudah takdirku. Mungkin aku memang tidak di takdirkan untuk bersamanya. Aku Justru bersyukur karena aku tidak akan pernah tersakiti lagi karenanya. Aku—tidak akan sedih lagi  karena melihatnya bersama Ka Ruby. Dan mungkin di sana aku akan menemukan orang lain yang bisa menggantikanya di hatiku”, lanjutku.
           
“Baiklah, itu memang sudah jalanmu. Aku berharap kamu aan bahagia di sana. Aku pasti akan sangat merindukan mu di sini”, Ka Steven memelukku.
“Jaman sudah maju bukan. Kita memang jauh, tapi aku masih bisa menghubungimu. Kita masih bisa berkirm pesan lewat SMS atau email, kalau kau rindu dengan wajahku, kita bisa bervideo chat.”
“Ya, kau benar. Kita bisa melakukan itu. Tapi—aku hanya takut kau akan melupakanmu seteah mendapatkan teman-teman baru di sana.”
“Tidak akan pernah! Aku berjanji padamu. Kamu adalah satu-satunya orang di sini yang mau menjadi temanku, yang menerimaku apa adanya. Kamu mau menurut ke egoisanku, kamu selalu ada di saat aku sedih mau pun senang, kamu mau mendengarkan keluh kesahku, menemaniku di saat aku kesepian. Aku tau kita belum lama brkenalan. Tapi dengan seluruh kebaikan yang ada pada dirimu, bagaimana bisa aku melupakanmu begitu saja. Lagi pula kamu sudah ku anggap seperti kaka ku sendiri.”
“Ya, aku bisa pegang janjimu itu.”
“Tapi apa kah kamu mau berjanji padaku?”, tanyaku yang membuatnya menatap ke arahku.
“Apa itu?”
“Jangan katakan pada siapa-siapa tentang ke pidahanku ini. tidak pada Ka Ruby bahkan pada—Justin. Biarkan ini menjadi rahasia. Biarkan mereka tau dengan senirinya setelah aku pergi.”
“Kenapa kamu tidak Justin tau? Siapa tau dia akan menahanmu untuk tidak pergi.”, Tanya ka Steven membuatku menarik nafasku panjang.
“It’s just in my dreams.”, ucapku dengan suara kecil, terlampau kecil hingga ku rasa ka Steven tidak bisa mendengarnya.

***

Wednesday, March 8th 2014
Dear Diary
           
            2 hari. Tidak terasa 2 hari telah berlalu degan sangat cepat. Aku sudah mecoba menggunakan 2 hari ini dengan sebaik-baiknya. Aku mendatangi tempat-tempat kenanganu. Danau yang tidak jauh dari rumah, taman yang berada beberaa blok dari rumah ku, Rumah pohon yang berada di halaman belakang rumahku, dan—Pohon yang berada di halaman rumah Justin. Aku seperti sedang memutar ulang filem masa kecilku dalam otakku. Ah! Aku Juga telah memberitahuan tentang kepindahanku pada Mom Pattie sore tadi. Dia kaget, sangat kaget kerena aku memberitahukannya sangat mendadak. Dia menagis, memelukku seakan akan segera kehilangan anak perempuannya. Tapi aku memang sudah di anggap seperti anak. Aku pasti akan sangat merindukannya.
            Hari ini dan kemarin benar-benar berhasil menghabiskan air mataku. Aku terus menangis selama 2 hari ini. Aku menangis saat bercerita tentang Justin pada Ka Steven, aku menangis saat aku mengenang semua kenanganku. Tapi tidak apa aku menangis sekarang karena aku sudah bertekat untuk tidak menangis lagi setelah itu. Aku benar-benar akan membuka lembaran baruku di paris. Dan masalah Justin. Dia masih seperti biasa. Menatap ku dengan dingin jika bertatapan denganku. Tidak apa! Setidaknya dia tidak tersenyum karena merasa senang aku akan pergi. Ya, dia bena-benar tidak tau degan kepindahanku ini. Aku bersyukur akan itu. Biarkan dia mengetahui semua itu dengan sendirinya, setelah aku pergi tentunya. Sekarang aku hanya bisa berharap dia akan bahagia dengan kehdupannya disini tanpa ada aku. Ya dia pasti bahagia.

***

Aku sedang berada di bawah pohon rindang yang ada di halaman belakang rumah Justin. Aku terduduk sendirian disini sambil mulai memutar kenangan-kenangan yang pernah terjadi di sini dalam otakku. Aku memejamkanmataku dan air mata pun kembali mengalir di kedua pipiku yang sudah sangat pucat karena menangis seharian.
Kenangan saat Justin memberikan kalung padaku terputar di kepalaku dengan sangat jelas, seakan semua itu baru saja terjadi padaku. Ku genggam erat liontin kalung pemberian Justin yang tergantung di leherku.


“Aku punya sebuah kalung untuk kamu. Kalung ini kuberikan sebagai teman mu di malam hari, karena aku tidak bisa datang menemani mu saat malam dan kalung itu sebagai bukti kalau kamu akan menjadi teman ku selamanya”
“Kalung yang cantik, di mana kamu mendapatkannya?”
“Aku meminta mom membelinya untuk ku berikan pada mu saat aku pergi ke pasar malam. “J.J” adalah kepanjangan dari Justin dan Jessy”
“Aku akan menjagga kalung ini.”
“Janji?”
“Ya aku berjanji!”


Aku terisak. Kenangan itu adalah kenangan paling indah juga paling menyakitkan dalam hidupku. “sebagai bukti kalau kamu akan menjadi teman ku selamanya”. Bodoh! Aku benar-benar polos karena mengharapkan seorang bocah kecil akan menepati janjinya. Itu hanya sebuah janji yang di buat oleh seorang bocah umur 5 tahun yang bahkan belum mengerti makna kata janji yang sebenarnya. Aku kembali memejamkan mataku, menarik nafasku dalam-dalam dan membuangnya selama beberapa kali hingga aku mulai merasa tenang. Setelah tenang aku pun membuaka kembali matakku dan menghapus air mata yang telah membasahi pipi dan mataku. Tidak lama setlah itu aku dapat mendengar Suara pintu terbuka dan kembali tertutup. “Siapa itu?”, tanyaku dalam hati. Aku hanya takut Jika aku akan bertemu Justin sekarang. Tidak! Aku belum siap. Aku melangkahkan kaki ku masuk kedalam rumah itu, rumah yang sepi karena memang penghuninya sedang keluar dan menitikan rumahnya padaku.

“Hi Jessy, Terimakasih karena sudah mau menjaga rumah”, ucap seseorang yang ternyata adalah Mom Pattie. Aku menarik nafasku lega.
“Sama-sama. Kebetulan aku memang ada keperluan di sini tadi. Dan—Ada yang mau ku beritahukan padamu mom”, nada bicaraku berubah menjadi serius tapi ragu-ragu.
“Apa itu?”, tanya Mom Pattie.
“Emm—Aku, masudku kami sekeluarga besok akan pindah”, begitu aku menyelesaikan kata-kataku wajah terkejut langsung terpamang di muka Mom Pattie.
“Pindah?!”
“Iya Mom. Maaf karena baru bisa memberitahukan mu sekarang. Aku tau ini sangat mendadak untukmu.”
“Tapi kenapa? Dan kemana kalian akan pindah?”
“Kami akan pindah ke Paris Mom. Cabang perusahaan Dad di sana sedang dalam masa-masa sullit dan Dad harus kesana menanganinya. Dan kau tau kalau hal seperti itu perlu waktu yang lama, jadi—kami harus pindah.”
“Oh my god! Aku benar-benar terkejut sekarang. Putri kesayanganku akan pindah besok dan baru memberitahukan ku sehari sebelumnya.”
“Maaf”, ucapku sambil menunduk menyesal. Tidak terasa tiba-tiba sebuah tangan telah membawaku ke dalam dekapannya. Aku bisa mendengar isakan Mom Pattie dari sini. Dia menangis?

“Oh Mom jangan menangis.”, aku mencoba menenangkannya.
“Oh sayang, aku pasti akan sanngat kesepian tanpa kamu.”
“Aku juga mom. Tapi aku berjanji akan sering menghubungi mu”, aku melepaskan diiku dari pelukan mom pattie dan mengusap air matanya sambil tersenyum tulus padanya.
“Aku pasti akan sangat merindukanmu.”
“ya, Aku juga mom. Aku sangat menyayangimu, mom sudah ku anggap sebagai ibu kedua untukku.”
“Oh sayang, jam berapa kamu akan berangkat besok?”
“Pagi-pagi sekali. Dan aku rasa Mom tidak bisa mengantar kami kebandara.”
“Mom rasa juga demikian. Jaga drimu baik-baik di sana ya sayang.”
“Tentu mom. Sekarang aku mau pulang untuk membereskan sisa-sisa barang yang masih belum di bereskan. Tapi sebelum itu aku ingin berpamitan terlebih dahulu dengan Jaxon dan Jazmyn.”, Mom Pattie hanya mengangguk dan aku pun segera melangah menuju Kamar kedua bocah kecil itu yang berada di latai atas. Mereka sedang tertidur, itu sebabnya Mom pattie memintaku untuk menjaga rumahnya. Dan sekarang aku akan beramitan dengan mereka karena besok aku tidak akan bertemu dengan mereka lagi. Aku hanya akan sekedar metapa muka tidur mereka yang menggemaskan dan sedikit mencium mereka.
Kubuka Pintu kamar mereka dengan perlahan agar tidak menimbulkan bunyi berisik yang akan membangunan mereka nantinya. Begitu masuk ke dalam kamar itu aku pun segera menghampiri kasur mereka yang bersebelahan. Kutarik sebuah bangku kecil ketengah-tengah celah dari kasur mereka dan duduk di bangku tersebut. Aku hanya terdiam di sana, memangdang wajah mereka yang damai saat tertidur.  Mereka pasti sangat lelah setelah bermain seharian. Mereka adalah anak-anak yang aktif. Tingkah dan kepolosan mereka selalu berhasil membuatku gemas sendiri.


“Kenapa kaka tidak berpacaran dengan Justin saja?”, tanya gadis kecil di hadapanku ini.
“Itu tidak mungkin, kami bersahabat”
“Tapi kalian berdua cocok. Aku akan sangat senang jika kalian berdua berpacaran”, lanjut gadis kecil itu membuatku menarik nafas berat.
“Kamu tidak mengerti kami sayang. Justin—”
“-Membenciku”, lanjutku dengan suara kecil yang bahkan tidak akan terdengar oleh Jazmyn.


Kenangan itu melintas begitu saja di otakku, membuatku memejamkan mataku sejenak. Air mataku kembali mengalir dari mataku tapi kemudian aku segera menghapusnya. Aku kembali ke aktifitas awalku, memandangi kedua bocah cilik di depanku yang tengah tertidur. Bocah cilik yang sudah ku anggap seperti adikku sendiri. Aku menyayangi mereka. sangat. Rasanya sangat berat harus meninggalkan mereka, berpisah dengan mereka dan tidak akan pernah lagi mendengar tawa dan candaan mereka. Mereka lah yang selalu bisa membuatku melupakan semua rasa sakit yang terjadi dalam hidupku. Mereka adalah malaikat-malaikat kecilku dan hari ini terakhir kalinya aku akan menatap wajah lugu mereka.
Lamunan ku terhenti saat aku melihat Iphone ku yang menyala karena kedatangan pesan baru. Segera ku buka pesan tersebut yang ternyata dari Mom. Mom memintaku untuk segera pulang membereskan sisa barangku yang masih tertinggal. Dengan lincah jariku mengetik sebuah pesan singkat dan mengirimnya pada Mom. Aku kembali memandang dua bocah kecil di depanku san bangkit dari dudukku. Ku hampiri mereka satu persatu dan mengecup kening dan pipi mereka.

“Selamat tinggal Malaikat-malaikat kecilku. Aku pasti akan sangat merindukan kalian”, gumaku kemudian pergi meninggalkan mereka yang tetap terlelap dalam mimpi indah mereka.

***

Thursday, March 9th 2014
Dear Diary

            Hari ini tiba juga. Hari terakhir aku melangkahkan kaki ku di tanah Kanada yang penuh dengan memori. Aku—pasti akan merindukan segala hal yang ada di sini termaksud—Justin. Tapi aku sudah bertekat. Aku akan melupakannya. Aku akan membuka lembaran baru di paris dan meninggalkan kenangan lama ku di sini. Ini lembar terakhir dari buku Diary ku. Aku sangat berterimakasih dengan buku ini karena telah menemani dan mendengar semua penatku selama beberapa tahun kemarin. Semua kenangan pahit dan membahagiakan tertulis dengan rapih dalam buku Diary ini. Ini goresan terakhirku sebelum aku meninggalkan Kanada, sebelum aku meninggalkan buku ini. Ya, aku tidak akan membawa buku ini, buku yang penuh dengan kenangan-kenangan bersama Justin. Ini adalah lembar terakhir yang menjadi saksi bisu kepergianku. Setelah ini mungkin aku akan membeli buku Diary baru dan mengisinya dengan kenanga-kenangan baru di sana. Aku berharap buku itu akan berisis dengan cerita-cerita bahagia hidupku, tidak seperti buku ini yang berisis dengan cerita pahit yang membuat air mataku jatuh di atas lembarannya. Aku sudah bertekat dan berjanji untuk tidak akan menangis lagi. Ini yang terakhir. Hari ini terakhir. Aku hanya akan menangis karena perpisahan hari ini dan aku bertjanji tidak akan menangis lagi. Aku berharap hidupku akan berbeda di sana. Tidak ada tangisan, hanya senyum dan tawa kebahagiaan. Tidak ada seorang Justin Bieber yang akan melukai hatiku. Dan aku fikir di buku ku yang selanjutnya akan berisis beberapa kata dengan bahasa perancis. Ya aku pasti akan belajar bahasa perancis di sana. Memenuhi buku diary ku dengan bahasa yang unik itu.
            Jadi ini lah perjalanan terakhirku. Gadis asal kanada yang pergi meninggalkan seluruh memorinya. Aku pergi tanpa membawa kenangan apapun dari sini tentang Justin. Tidak! Aku tidak mau menangis lagi hanya karena mengingiat kenangan itu. Maka dari itu aku meninggalkannya, semuanya termaksud kalung berliontin “J.J” dari Justin. Aku akan menyelipkannya di dalam buku ini.
            Aku akan menghilang dari hidupnya. Bukan berarti aku kabur. Aku hanya merelakannya demi kebahagiaanya. Dia bukan takdirku. Aku mencintainya dalam kesakitan ini, dan sekarang aku akan melepaskannya. Semoga dia bahagia dengan kehidupannya tanpa diriku. Selamat tinggal Justin Bieber. Cinta pertama ku yang menyakitkan..

“Terkadang kita harus belajar melepaskan cinta demi mendapatka kebahagian yang besar nantinya. Itu lah aku yang melepaskannya demi kebahagiaanku lainnya.”

***

            Ku letakkan buku diary ku di atas sebuah meja kosong yang berada di pojok kamarku. Aku tidak akan membawa buku itu dan juga kalung pemberian Justin. Aku juga meninggalkan semua benda kenangan ku di rumah ini. ini pilihan ku. Aku berharap ini adalah pilihan yang tepat agar aku tidak lagi mengingat kenangan pahit di sini. Aku hanya ingin membuka sebuah lembaran baru dan aku berharap lembaran baru ku itu akan berisi cerita bahagia.
            Air mataku mengalir kembali. Setelah semalam aku terus menangis di kamar ini, dan pagi ini aku berharap tidak menangis lagi. Tapi semua ini benar-benar berhasil menghabiskan air mataku. Tapi tidak apa karena setelah hari ini aku berjanji untuk tidak menangis lagi.
            Ku sentuh buku Diaryku untuk yang terakhir kalinya dan aku memejam kan mataku, mengingat kenangan apa saja yang terukir di dalam diary itu dan membuatnya menjadi sebuah film pendek yang melintas dalam ingatanku. Ku gengam kalung yang masih tergantung di leherku dengan tanganku yang lain dan kenanga masa kecil kembali terlintas.


“Aku punya sebuah kalung untuk kamu. Kalung ini kuberikan sebagai teman mu di malam hari, karena aku tidak bisa datang menemani mu saat malam dan kalung itu sebagai bukti kalau kamu akan menjadi teman ku selamanya”
“Kalung yang cantik, di mana kamu mendapatkannya?”
“Aku meminta mom membelinya untuk ku berikan pada mu saat aku pergi ke pasar malam. “J.J” adalah kepanjangan dari Justin dan Jessy”
“Aku akan menjagga kalung ini.”
“Janji?”
“Ya aku berjanji!”


Semua memori itu terus berputar di dalam kepalaku layaknya aku sedang menonton sebuah filem kehidupanku. Setiap adegannya terasa seperti baru saja terjadi padaku. Terus dan terus memori itu berputar tanpa memperdulikan seberapa banyak lagi air mata yang telah mengalir dari mataku. Semuanya terus berlanjut sampai suara Mom menghentikan aktifitas mengingatku ini.

“Sayang, apa kamu sudah selesai di atas, kita harus segera berangkat karena taksi sudah datang”, teriak mom dari bawah sana membuat aku kembali membuka mataku yang telah basah karena air mata.
“Tunggu sebentar lagi mom”, jawabku dengan suara yang dibuat senormal mungkin. Aku menarik nafasku dalam-dalam untuk menormalkan nafasku yang tidak beraturan setelah menangis. Kemudian aku melepas kalung berliontin “J.J” yang masih tergantung di leherku, menggenggamnya sejenak dan meletakkannya di dalam buku Diaryku. Kupandang Diaryku untuk yang terakhir kalinya sebelum akhirnya aku pergi menjauh. Tepat di dean pintu kamarku aku kembali berbalik menatap nanar kearah buku tersebut dan kemudian tersenyum simpul.


 “Good Bye Canada, Good bye Justin, I hope for your happiness. Thanks for all the memories here. I love you..


Jessy

Jessy Recall old memories under the tree

Jessy before moving


Tidak ada komentar:

Posting Komentar